Tampilkan postingan dengan label Budaya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Budaya. Tampilkan semua postingan

Sabtu, Juni 07, 2008

Ponsel dan Kerusakan Budaya

Disebuah majalah komputer (PC Media edisi..?) seorang pakar mengulas tentang bagaimana sebuah telepon seluler atau lebih terkenal dengan sebutan HP (handphone) dapat merubah dan merusak tatanan budaya, terutama budaya timur yang terkenal santun.
Di kantor, jalan, mall, bahkan di ruang meeting ketika pembicara lagi menyampaikan presentasinya, pesertanya ada yang asik dengan ponselnya tanpa risih, seolah-olah sudah hal yang biasa dan lumrah. Dijalan sambil nyetir menggunakan ponsel tanpa handsfree dengan tenang tanpa memperdulikan lagi keselamatan diri dan orang lain. Seorang pengendara sepeda motor sms-an sambil melaju tak peduli lg sekelilingnya. Di dalam lift seorang menerima panggilan ponsel berbicara dengan keras layaknya bicara dimeja makan sambil berhadapan dengan lawan bicara, tanpa peduli dalam lift penuh orang. Pada saat pesawat mau take off pramugari mengingatkan kita agar ponsel dimatikan, dan pada saat mau landing pramugari mengingatkan kita bahwa jangan menyalakan ponsel sebelum, tapi kayaknya sebagian dari kita gak sabar dan yang pertama dilakukan pada saat pesawat berhenti adalah mengaktifkan ponsel.
Ponsel memang sangat dibutuhkan untuk komunikasi yang lebih cepat pada jaman sekarang ini, tapi juga komunikasi jadi lambat gara-gara mau nelpon, malah cari-cari charger karena ponsel low batt.
Jadi gunakanlah ponsel sesuai kebutuhan, bicaralah dengan pelan bila menerima panggilan di tempat umum, usahakan bicara singkat dan jelas, pakai fasilitas silent/ bila lagi mengikuti meeting atau buat nada jawab bahwa anda lagi meeting dan bisa menghubungi bila selesai meeting.

Kamis, Mei 29, 2008

Jelekong, Kampung Seni

Jelekong adalah nama sebuah tempat/kampung di Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung, sekitar 30 kilometer ke arah selatan Kota Bandung. Di sana sekitar 200 warganya hidup dari melukis, benar-benar melukis dan tak ada pekerjaan lain.
Karena itu, jika Anda ke sana, maka bakal terlihat pemandangan layaknya sebuah perkampungan seniman lukis. Jalanan sesak dengan kanvas yang dijemur di sana-sini. Jika masuk ke gang-gang, bau cat minyak akan menusuk hidung. Maklum, gang-gang itu telah disulap menjadi sanggar dadakan. Mereka melukis segala macam isi alam semesta, dari pemandangan, binatang sampai orang.
Jelekong sendiri menjadi perkampungan seniman lukis sejak 1965. Awalnya dimulai dengan kekaguman pak Oding salah satu warga, yang ketika itu sebagai pemain drama, memperhatikan latar belakang panggung drama. Ia bertekad bisa melukis gambar-gambar seperti yang menjadi back ground panggung drama itu. Pada 1964 ia berangkat ke Jakarta dan menemui Wawan, seorang pelukis ibu kota. Pada 1965 ia pulang kampung dan memutuskan untuk menjadi pelukis.
Selain seni lukis, Jelekong terkenal juga dengan seni wayang golek, dimana disana lahir dalang kondang Asep Sunandar dan padepokan seni wayang golek “Giri Harja” yang didirikan oleh Abah Sunarya.
Memang semestinya seni tidak mengenal tempat dan waktu, dimana saja dan kapan saja.

Minggu, April 20, 2008

Gedung Sate Landmark Kota Bandung

Setiap kota memiliki identitas berbeda-beda yang dapat menbedakan dengan kota lainnya baik skala regional, nasional maupun international, seperti halnya kota Bandung dengan Gedung Sate-nya.
Dr. Hendrik Petrus Berlage seorang arsitek kenamaan Belanda menilai gedung sate merupakan een groots werk (sebuah karya besar- a great work).
Gedung Sate dibangun pada tahun 1920 – 1924 di Wihelmina Boulevard (sekarang Jalan Diponegoro); peletakan batu pertama oleh Nona Johana Catherine Coops, putri sulung Walikota Bandung B. Coops. dan Nona Petronella Roelofsen yang mewakili Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia.
Gedung Sate merupakan karya monumental dari arsitek Ir. J. Gerber dari Jawatan Gedung-gedung Negara (landsgebouwendients), dibantu oleh sebuah tim yang terdiri dari: Kol. Genie (Purn.) V.L. Slor dari Genie Militair, Ir. E.H. De Roo dan Ir. G. Hendriks yang mewakili Burgerlijke Openbare Werken (B.O.W) atau DPU sekarang dan Gemeentelijk Bouwbedriff (Perusahaan bangunan Kotapraja) Bandung. Gaya arsitekturnya merupakan perpaduan langgam arsitektur tradisional Indonesia dan teknik konstruksi Barat, sehingga disebut Indo Eropeesche Architectuur Stijln.
Arsitektur Gedung Sate merupakan perpaduan antara gaya arsitektur Italia dan Moor dari zaman Renaissance dengan gaya arsitektur Hindu dan Islam. Ornamen berciri tradisional seperti pada candi Hindu terdapat dibagian bawah dinding gedung, sedangkan pada bagian tengahnya ditempatkan menara beratap tumpak seperti meru di Bali, sesuatu yang lazim pada gaya arsitektur Islam.
Ornamen enam tiang dengan bulatan berbetuk mirip tusuk sate ditempatkan pada puncak atap tumpak, sebagai lambang biaya pembangunan Gedung Sate sebesar 6.000.000 Gulden.
Tempo Doeloe gedung ini disebut Gouvernements Bedrijven (GB). Gedung ini kemudian disebut Gedung Sate berdasarkan bentuk ornament pada puncak atap tumpak tersebut. Gedung Sate sekarang menjadi Kantor Gubernur Jawa Barat. Pemberian teritis (overstek) yang lebar dan selasar pada lantai dasar sangat disesuaikan dengan iklim tropis, agar sirkulasi udara dan sinar matahari dapat masuk ke dalam bangunan dengan baik. Atap meru (atap tumpak) pada bangunan utama merupakan vocal point bangunan ini. Rancangan atap itu merupakan upaya memasukan unsure local pada desain bangunan. Wajah bangunan lebih didominasi dengan rincian (detail) arsitektur Barat seperti lengkung pada jendela dan tiang kecil yang memakai order klasik.
Dalam masa perang kemerdekaan Gedung Sate memiliki nilai histories. Pada tanggal 3 Desember 1945, tujuh orang pemuda pejuang yang mempertahankan bangunan tersebut gugur melawan Pasukan Ghurka yang datang menyerang. Kini sebuah monumen peringatan bagi pahlawan yang gugur itu, berdiri tegak di depan Gedung sate. Sejak tahun 1977, sebuah bangunan besar dengan kontekstual yang serasi, tegak menyesuaikan bentuk terhadap langgam arsitektur banguanan Gedung sate, rancangan arsitek Ir. Sudibyo, yang kini berfungsi menjadi gedung DPRD Propinsi Jawa Barat.
(sumber : Bandoeng Tempo Doeloe dan bapeda jabar go.id)

Kamis, Januari 24, 2008

Kampung Naga

Kampung Naga merupakan perkampungan tradisional dengan luas areal kurang lebih 4 ha. Lokasi obyek wisata Kampung Naga terletak pada ruas jalan raya yang menghubungkan Tasikmalaya-Bandung melalui Garut, yaitu kurang lebih pada kilometer ke 30 ke arah Barat kota Tasikmalaya.

Daya tarik obyek wisata Kampung Naga terletak pada kehidupan yang unik dari komunitas yang terletak di Kampung Naga tersebut. Kehidupan mereka dapat berbaur dengan masyrakat modern, beragama Islam, tetapi masih kuat memelihara Adat Istiadat leluhurnya. Seperti berbagai upacara adat, upacara hari-hari besar Islam misalnya Upacara bulan Mulud atau Alif dengan melaksanakan Pedaran (pembacaan Sejarah Nenek Moyang) Proses ini dimulai dengan mandi di Sungai Ciwulan dan Wisatawan boleh mengikuti acara tersebut dengan syarat harus patuh pada aturan disana.

Bentuk bangunan di Kampung Naga sama baik rumah, mesjid, patemon (balai pertemuan) dan lumbung padi. Atapnya terbuat dari daun rumbia, daun kelapa, atau injuk sebagi penutup bumbungan. Dinding rumah dan bangunan lainnya, terbuat dari anyaman bambu (bilik). Sementara itu pintu bangunan terbuat dari serat rotan dan semua bangunan menghadap Utara atau Selatan. Selain itu tumpukan batu yang tersusun rapi dengan tata letak dan bahan alami merupakan ciri khas gara arsitektur dan ornamen Perkampungan Naga. (disadur dari www.tasikmalaya.go.id)