Minggu, Mei 27, 2012

Pembangunan Berkelanjutan

Tuhan menciptakan dunia ini tak ada yang kekal, kecuali proses alami yang mendukung siklus kehidupan makhluk hidup itu sendiri. Semua berputar datang silih berganti atau berubah wujud, seperti air, dari cair menjadi uap, atau menjadi benda padat (es). Demikian pula proses alami lain, perlu dijaganya kondisi lingkungan yang bisa tetap menampung berbagai proses tersebut sedemikian rupa, supaya proses alami tetap berlangsung dan tetap mampu mendukung kehidupan secara lokal, nasional, regional dan global. Salah satu bentuk komitmen itu adalah pembangunan lingkungan binaan yang berkelanjutan.
Bumi, planet tempat manusia berdiam kini telah mengalami perubahan menuju krisis lingkungan yang mengancam kelertarian bumi dan kehidupan manusia, demikian pula di Indonesia ini. Ironisnya semua kerusakan dan pencemaran lingkungan tersebut adalah akibat kegiatan manusia yang mengabaikan fungsi kelestarian lingkungan. Kebangkitan kesadaran manusia untuk menyelamatkan bumi dilakukan dengan berbagai cara, kata-kata Lingkungan Hidup dan Hijau (Green) menjadi kata-kata sakti saat ini. Maka menjamurlah istilah kota berwawasan lingkungan, kota ramah lingkungan, kota berkelanjutan, kota hijau dan lain sebagainya.
Bagaimana seharusnya manusia mampu menyesuaikan diri dengan alam sekitar sebagai bagian dari kehidupan budaya manusia? Kita sebagai manusia harus mengedepankan hubungan keselarasan antara manusia dengan Pencipta, dengan sesama mahluk hidup lain dan lingkungan. Sikap ini melahirkan persepsi, bahwa segala sesuatu di bumi ini bernyawa, sehingga kita tak boleh semena-mena merusaknya. Dengan demikian, kita akan sangat hati-hati mengubah alam ini, itupun hanya bila benar-benar diperlukan, yaitu untuk mendukung kelanjutan hidup, semoga!.

Minggu, November 27, 2011

Hijaukan Bumi Kita, yuk!

Go Green, Hayu Hejo…!!! Saatnya kita untuk bertindak, Saatnya kita ikut berpartisipasi…!

Tahukah anda? Bahwa penyumbang emisi CO2 (karbon dioksida) kedua terbesar adalah seluruh bangunan yang ada di dunia dengan angka hamper mencapai 98%, disumbangkan oleh existing building.

Existing building adalah gedung/bangunan yang sudah berdiri dan beroperasi hingga kini, artinya 98% bangunan-bangunan yang sudah ada sekarang secara bersama-sama menyumbangkan emisi CO2 ke langit udara kita.

Menghasilkan bangunan bebas emisi sangatlah tidak mungkin, tapi sebisa mungkin kita harus dapat mengurangi emisi tersebut. Dengan Konsep ‘green building’ kita dapat mencoba mengurangi kadar emisi yang dikeluarkan ke udara sehingga memperkecil dampak yang diakibatkan oleh pemanasan global/global warming. (Sumber : Green Building Council Indonesia-GBCI)

Minggu, Juli 10, 2011

Tradisi Dalam Arsitektur (2)

Keenam tradisi tersebut adalah sebagai berikut :

1. Tradisi Logis

Tradisi ini didasarkan pada cara berpikir yang sistematis, sejalan dengan hokum alam dan mengikuti perkembangan teknologi. Disini teknologi adalah di atas segalanya.

Sangat baik untuk dikembangkan, tetapi perlu pendekatan ke arah apa yang terdapat di Indonesia sendiri; yaitu hasil-hasil alamnya dan hasil seni yang berasal dari tradisi rakyatnya. Kalau tidak, mungkin orang akan mengalami kejenuhan, karena nilai seni kurang digali kembali.

2. Tradisi Intuitif

Pengungkapan kreatifitas dan emosi yang menghasilkan bentuk-bentuk yang menakjubkan, serta menutup mata terhadap reaksi-reaksi orang di sekelilingnya.

Kurang baik untuk dikembangkan karena kemungkinan besar akan menemui tantangan dalam masyarakat.

Memang ada beberapa fungsi yang mengharapkan tradisi ini diterima ooleh masyarakat secara baik, yaitu suatu fungsi yang memang mengharapkan perhatian dari masyarakat dalam lingkungannya. Akan tetapi untuk Indonesia, belum banyak diterapkan.

Tradisi intuitif dengan ramalan atau penglihatan yang jauh ke depan dapat memberikan gambaran ke masa mendatang, sehingga dapat merangsang dan memperlihatkan potensi arsitek.

3. Tradisi Aktivis

Mempunyai ciri lebih menonjolkan hasil karya arsitektur untuk dapat memenuhi tuntutan hidup masyarakat dan mengutamakan bentuk-bentuk yang mampu berkomunikasi dengan masyarakat dan memusatkan diri pada bentuk-bentuk ini.

Tradisi ini sangat baik untuk diterapkan di Indonesia, untuk menolong masyarakat yang berpenghasilan rendah yang mencapai sebagian besar dari jumlah rakyat Indonesia. Tetapi sifatnya hanya sebagai peralihan ke arah suatu kehidupan yang lebih baik lagi.

Emosi arsitek terlihat juga pada saat-saat tertentu, tapi lebih banyak ke arah ide yang praktis, murah dan lebih manusiawi dengan disertai kemamppuan untuk memilih bahan secara tepat.

4. Tradisi Idealis

Mencoba menciptakan keseimbangan antara arsitek secara pribadi dengan bentuk-bentuk yang umum atau yang dikenal oleh masyarakat. Sangat memperhatikan fungsi, maka hasilnya adalah suatu bentuk yang mempunyai kepribadian sendiri, sesuai dengan kurun waktu tertentu. Bangunan-bangunan yang mempunyai bentuk sama atau klise dianggap tidak ideal.

Tradisi ini mengutamakan komunikasi, dengan maksud agar dapat mudah dimengerti.

5. Tradisi Self-Conscious

Karya-karyanya mempunyai karakter yang dapat memproyeksikan faham yang dianutnya dan kekuasaan suatu faham pada era tertentu. Misalnya suatu bangunan pemerintahan mempunyai suatu ciri dan corak pemerintahan pada waktu itu.

Tradisi ini sangat terpengaruh oleh keadaan sosial-politik

6. Tradisi Unself-Conscious

Karya-karyanya cenderung pada usaha peningkatan keadaan sosial budaya masyarakat dengan mengembangkan lingkukangnya sendiri, berdasarkan kebiasaan, adat dan bukan didasari oleh suatu ideologi.

Tradisi ini mempunyai kelemahan, yaitu; Program kesejahteraan yang berlaku selalu tidak memadai, dan kaku, bahkan tidak manusiawi dalam pelaksanaannya.

Tradisi ini sangat besar pengaruhnya dalam arsitektur dan sempat mempengaruhi sekitar 80% (delapan puluh persen) dari lingkungan di dunia. (lanjut)

Kamis, Juli 07, 2011

Arsitek, untuk hunian layak, dibutuhkan, diperlukan???

Dalam rumah yang sehat terdapat keluarga yang sehat. Bukan kata-kata mutiara, bukan pula pesan sponsor. Tak perlu dipergunjingkan lagi secara otomatis memang sudah menjadi keharusan, sudah menjadi kebutuhan pokok setiap manusia, sesudah pangan dan sandang.

Sudah kehendak takdir semua mahluk bernyawa membutuhkan tempat tinggal sesuai kondisinya masing-masing. Tengok saja masyarakat semut yang sibuk mengorek lubang dan masyarakat burung yang sibuk mengumpulkan lalu menata ranting membuat sarang sebagai tempat tinggalnya, atau masyarakat keong dan kerang yang secara kodrati telah disubsidi masing-masing mendapat jatah sebuah “rumah” tanpa harus mengisi formulir, tanpa harus mengajukan KPR ke bank, tanpa membayar uang muka maupun cicilan.


Tentu saja, apalagi manusia. Sebagai mahluk paling pintar, paling hebat, paling bisa dan memang paling-paling di dunia ini, jelas membutuhkan tempat tinggal yang serba lebih dari segala mahluk lainnya.


Rumah Sehat Murah, sebuah rangkaian kata yang sederhana, tetapi tidak sesederhana itu usaha-usaha yang harus dilakukan untuk memenuhi jumlah kebutuhan yang terus meningkat.

Bicara soal rumah, rasa-rasanya tak seorang Arsitek pun boleh mengelak dari soal ini. Lantas kalau tadi pagi dokter Puskesmas mengatakan Mang Omo yang Penjaga Pintu Kereta sekaligus penjaga keselamatan manusia, percuma saja mondar-mandir membawa anaknya yang sakit-sakitan melulu ke Puskesmas, kecuali kalau Mang Omo mengobati pula rumahnya sehingga menjadi rumah sehat.

Waktu dokter menganjurkan supaya Mang Omo minta petunjuk Arsitek, ia bingung tujuh belas keliling. “Arsitek itu apa sih?” tanyanya. Lalu dokter yang ramah itu cuma menjawab: “Tanya saja pada juragan pemilik kontrakan yang Bapak tempati.”


Tapi ketika Mang Omo mengutarakannya pada Juragan pemilik rumah, yang terakhir ini cuma nyengir ditambah seucap kata: “Muahal” katanya sambil melengos.

Sedikitpun ini bukan komedi.

Rabu, Juni 29, 2011

Rumah Padat (Compact House)

Mendesain rumah dengan lahan terbatas tetapi kebutuhan ruang yang banyak (padat) menjadi suatu tantangan bagi arsitek perancang, apalagi dengan dana yang terbatas pula.

Dengan luas lahan lebih kurang 72 m2 (6x12m) dan berada pada area pemukiman perumahan sederhana di pinggir kota Bandung, milik seorang Pegawai Negeri Sipil golongan rendah, dengan dua anak yang beranjak dewasa.

Hal tersebut di atas menjadi pertimbangan dasar dalam mendesain, dimana desain dituntut agar efisien dan hemat biaya.

Rumah dua lantai ini dibuat dengan tata ruang yang sederhana, lantai dasar ruang tamu, dapur dan ruang keluarga sebagai ruang public dengan meminimalkan dinding pembatas ruang, agar kelihatan dan terasa lapang/luas.


Atas dasar keterbatasan biaya untuk pembangunan, rancangan rumah ini menggunakan material yang meminimalkan finishing, misalkan dinding dengan menggunakan bahan concrete block tanpa finishing yang mengharuskan modul ruang-ruang didalamnya dirancang berdasarkan ukuran material tersebut. Atap berbahan metal yang digunakan untuk mempercepat masa pembangunan. Kusen jendela menggunakan bahan alumunium, sedangkan daun pintu dipasang menempel di dinding tanpa kusen. Lantai merupakan plat beton yang diplester halus tanpa keramik ataupun finishing lainnya, sehingga dengan biaya terbatas rumah ini bisa terwujud.