Jumat, Januari 25, 2008

Perlunya Catu Daya Cadangan Pada Bangunan Publik

Tanpa mengurangi apresiasi yang tinggi kepada Galeri Nasional atas prakasanya menyediakan acara perhelatan:”musikalisasi puisi Romo Mudji Sotrisno” pada 6 Desember 2007 malam, pada akhir acara tiba tiba terjadi trap dan lampu padam total, puluhan pengunjung yang memadati acara tersebut terpaksa dengan susah payah mencari jalan keluar.
Satu dan lain hal karena tidak tersedianya “lampu penerangan darurat” (emergency light) yang seharusnya tersedia pada bangunan pubik.
Hal yang juga kurang menjadi kepedulian dari pengelola Galeri Nasional antara lain tanda tanda atau pemberitahuan posisi (signage) pada gedung tersebut bila ada acara acara penting pada malam hari, halaman gedung yang relatip gelap dan “kurang mengundang” Seharusnya nama besar Galeri Nasional dengan asset sebuah bangunan „tempo doeloe“ dilokasi yang sangat bergengsi, memberikan nuansa yang mencerahkan.

Lalu bangaimana mengelola bangunan ini, terlepas dari alasan klasik „budget terbatas“ seharusnya dilakukan sekala prioritas bagian apa saja yang sangat diperlukan bagi public space, lampu yang tiba tiba mati dapat menimbulkan fearness, panic atau konotasi bermacam : sabotase, atau yang lebih buruk lagi.
Apalagi bila saja dalam acara tersebut hadir pejabat,tokoh dan atau public figure terkenal, kalau saja terjadi dinegara barat, akan menjadi „Berita besar“.
Namun karena kita hidup ditengah masyarakat “pemaaf yang sekaligus pelupa“ maka kejadian diatas berjalan biasa biasa saja tanpa rasa berdosa.
Secara psikologis dampak yang timbul bisa diperdebatkan,sebagai contoh kejadian serupa terjadi disebuah hotel internasional di Bali, beberapa tahun lalu sebelum bom Bali, serombongan turis asing mengajukan claim ke manajemen hotel akibat mati lampu berkepanjangan karena genset hotel tidak dapat dioperasikan.

Bagi kita kejadian ini dianggap lumrah saja, namun kalau saja kita berpikir jauh kedepan dalam kesiapan kita menghadapi era globalisasi, desa buana (global Village) dan implikasi yang bakal timbul, sungguh kejadian diatas harus dan tidak boleh terjadi lagi………… semoga.

Kamis, Januari 24, 2008

Kampung Naga

Kampung Naga merupakan perkampungan tradisional dengan luas areal kurang lebih 4 ha. Lokasi obyek wisata Kampung Naga terletak pada ruas jalan raya yang menghubungkan Tasikmalaya-Bandung melalui Garut, yaitu kurang lebih pada kilometer ke 30 ke arah Barat kota Tasikmalaya.

Daya tarik obyek wisata Kampung Naga terletak pada kehidupan yang unik dari komunitas yang terletak di Kampung Naga tersebut. Kehidupan mereka dapat berbaur dengan masyrakat modern, beragama Islam, tetapi masih kuat memelihara Adat Istiadat leluhurnya. Seperti berbagai upacara adat, upacara hari-hari besar Islam misalnya Upacara bulan Mulud atau Alif dengan melaksanakan Pedaran (pembacaan Sejarah Nenek Moyang) Proses ini dimulai dengan mandi di Sungai Ciwulan dan Wisatawan boleh mengikuti acara tersebut dengan syarat harus patuh pada aturan disana.

Bentuk bangunan di Kampung Naga sama baik rumah, mesjid, patemon (balai pertemuan) dan lumbung padi. Atapnya terbuat dari daun rumbia, daun kelapa, atau injuk sebagi penutup bumbungan. Dinding rumah dan bangunan lainnya, terbuat dari anyaman bambu (bilik). Sementara itu pintu bangunan terbuat dari serat rotan dan semua bangunan menghadap Utara atau Selatan. Selain itu tumpukan batu yang tersusun rapi dengan tata letak dan bahan alami merupakan ciri khas gara arsitektur dan ornamen Perkampungan Naga. (disadur dari www.tasikmalaya.go.id)